Kamis, 29 Oktober 2015

D9

Saya Diam, tapi Saya Dengar dan Paham J

Pernah dengar ungkapan seperti ini ? :
“Hidup kita Tuhan yang mengatur, kita yang menjalani, dan orang lain yang berkomentar”
Benar kan ?
Iya.. benar. Benar sekali
Hidup kita diatur oleh Tuhan, dengan segala ketetapan-Nya. Tidak hanya diciptakan semata, tapi hanya untuk beribadah, menyembah, mengabdi,  bertaqwa, dan berserah diri kepada-Nya. Apa yang menjadi ketetapan-Nya sudah sangat jelas, tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Ada manusia yang benar-benar paham dan menjalankannya, ada yang paham tapi tidak menjalankannya, ada yang tidak paham tapi menjalannya, dan ada yang yang tidak paham sehingga dia tidak menjalankanya. Diantara orang-orang itu yang termasuk golongan orang merugi adalah mereka yang tahu, mereka yang paham akan segala ketetapan Tuhan, tetapi pura-pura tidak tahu sehingga dengan sengaja tidak bisa menjalankannya.
Naudzubillah,
Kita yang menjalani hidup, sebagai aktor kehidupan dimana realita rangkaian perjalanan hidup kita tidak seindah cerita FTV. Indah tidaknya alur cerita kita, bergantung bagaimana kita mempersepsikannya. Ada yang bilang bahwa “Live is never flat, hidup ini tidak datar-datar saja.”
Asumsi ini akan dibenarkan oleh mereka (manusia) yang menyukai tantangan. Atau paling tidak mereka paham konsep hidup di dunia yang sudah dikalamkan oleh Tuhan.
Semua kembali pada keyakinan asing-masing
Orang lain yang berkomentar, layaknya menjalankan peran sebagai penonton sebuah drama. Jika yang mereka lihat bagus, maka komentar yang dilontarkan adalah komentar yang positif. Sebaliknya, jika yang mereka lihat buruk, maka komentar yang dilontarkan adalah komentar yang negatif. Tapi perlu diingat, persepsi orang satu dengan yang lain berbeda-beda, bergantung pada selera. Belum tentu menurut kamu bagus, menurut orang lain tidak bagus. Menurutmu tidak bagus, menurut orang lain bagus. Ya begitulah, kembali bagaimana mereka mempersepsikan apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, dan apa yang mereka rasakan.
Akan tetapi perlu diingat. Berkomentar pun harus ada dasarnya. Jika berkomentar hanya menurut persepsi tanpa ada landasan yang mendasari asumsi tersebut, bisa jadi itu dikatakan sebagai pelecehan, atau dalam dunia hukum disebutkan sebagai pencemaran nama baik.
Nah loh.. repot juga kan
Berkomentar pun ada salahnya juga. Maka dari itu kita harus punya dasar, landasan, pondasi yang kuat yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Untuk apa ? Agar setiap tindakan yang kita ambil baik secara verbal maupun non verbal sesuai dengan ketetapan-Nya. Tidak menyimpang dari ajaran agama, tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Belajarlah untuk bertoleransi. Selama itu benar, sesuai dengan ajaran Tuhan, jangan menghakiminya dengan melontarkan kata-kata tajam, yang kamu sendiri belum tetntu benar. Tidak dipungkiri, sekali dua kali, pasti pernah merasakan yang namanya dihina, dilecehkan, dikata-katain yang buruk dan sejenisnya.
Sakit kan ?
Tersinggung kan ?
Marah kan ?
Apalagi yang dilecehkan itu adalah kaitannya dengan keyakinan sesorang, yang sudah jelas ada ketetapan dari Sang Pencipta. Melecehkan mereka yang sudah sesuai dengan ajaran atau mereka yang baru mau menyesuaikan diri dengan ajaran, itu adalah perbuatan yang salah. Terlebih jika dirimu sendiri tidak atau belum sesuai dengan ajaran tapi sudah berani menghina mereka yang sedang berusaha memperbaiki diri agar sesuai dengan ajaran.
Bukannya sok menasihati, tapi di sini saya merasakannya, mengalaminnya, di depan maupun di belakang saya. Ada omongan-omongan bernada negatif yang dilontarkan, langsung maupun tidak langsung, bahkan hanya dari ekspresi wajah dan gerakan tubuh.
Sejujurnya saya dengar dan paham dengan apa yang mereka lakukan, tapi saya diam. Karena di dalam ajaran yang saya tahu, kebenaran Tuhan tidak pernah salah, dan saya meyakininya. Selama itu benar, Allah akan memudahkan jalanku. Allah akan bersama orang-orang yang mendekatkan diri pada-Nya..
Semoga kita senantiasa istiqomah dalam iman dan Islam

..آمِيّنْ...آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَ رَ بَّلْ عَلَمِيّنْ

Rabu, 28 Oktober 2015

D8

Tuhan.. Maaf Aku yang Selalu Iri L

Aku selalu iri
Bukan berarti aku tidak bersyukur, tidak pernah bersyukur, dan tidak mau bersyukur
Aku hanya iri dengan mereka, dengan apa yang mereka punya, dengan apa yang mereka lalukan
Iriku bukan iri masalah materi. Bukan juga masalah fisik. Bukan iri terhadap hal-hal yang bersifat duniawi.
Aku iri kepada mereka yang rajin beribadah. Sholat lima waktu tepat waktu, sholat sunnah, puasa sunnah, mengaji, dan beriktikaf, bersholawat dan sejenisnya. Iman dan taqwa mereka lebih kuat.
Aku iri kepada mereka yang rajin beramal. Menyisakan sebagian hartanya untuk berbagi dengan sesama, bersedekah, mengisi kotak amal, berkontribusi dalam penggalangan dana sosial dan masih banyak lagi. Harta mereka lebih barokah.
Aku iri kepada mereka yang rajin berdakwah. Berbagi ilmu dengan sesama, menyampaikan pesan moral, sosial, budaya, dan agama, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain, serta mengajak mereka dalam hal kebaikan. Bicaranya mereka lebih menginspiratif.
Aku iri kepada mereka yang rajin belajar, menuntut ilmu, haus akan ilmu. Mereka yang tiada hentinya mencari tahu apa-apa yang belum diketahui, bertanya, membaca buku, menulis, kemudian membagi ilmunya dengan yang lain. Ilmu mereka yang lebih bermanfaat
Aku iri kepada mereka yang aktif dalam kegiatan sosial. Yang tanpa malu turun ke jalan, tanpa lelah mengangkat beban, tanpa bosan bergelut dengan yang kotor, jijik, bau, busuk dll. Tenaga mereka termanfaatkan dengan baik.
Aku iri kepada mereka yang berhijrah. Banyak yang menentang, mencacimaki, menggunjing, tapi tetap tegar dengan keyakinannya. Yakin bahwa keputusannya adalah benar, tepat, tidak boleh ada yang menggoyahkan. Mereka yang istiqomah dengan keputusannya.
Dan pada intinya...
Aku tidak iri kepada mereka (perempuan) yang lebih cantik daripada diriku
Aku hanya iri kepada mereka (perempuan) yang lebih sholeha daripada diriku

Ya Allah... Izinkan aku selalu iri dalam kebaikan, yang selalu membuatku lebih dekat dengan-Mu.
Aamiin, YRA J


Selasa, 27 Oktober 2015

D7

Mutiara tanpa Kilau (Lagi)L

             Blora, 14 Maret 2014,

     
Aku dipertemukan dengan seseorang yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Dewi Mutiara Putri. Hanya sebatas namanya pernah disebut dalam perbincangan teman-temanku. Aku sendiri tidak pernah bermimpi akan bertemu dengannya. Apakah ini yang dinamakan takdir ?
Sebelum bertemu dengannya, dia sudah mengirim pesan terlebih dahulu. Entah dapat nomorku darimana. Awalnya aku bertanya-tanya, masih belum mengerti kenapa dia bisa menghubungi aku. kurang lebih, percakapan kita di sms waktu itu seperti ini
“Hai Fira.. kenalin aku Dewi Mutiara Putri, panggil aja Dewi. Aku ada perlu nih, boleh minta alamat rumahnya ?”
Kalimat itu yang sampai sekarang masih membuat aku bertanya-tanya, Kok bisa ?
Tanpa berpikir panjang, aku langsung membalas pesannya dan memberikan alamat rumah.
Ah..Paling dia bercanda, tidak mungkin kalau dia ke rumah (gumamku).
Kamis malam, tanpa angin, tanpa hujan, tiba-tiba dia mengirim pesan lagi. Posisinya sudah di depan rumah, bersama bapaknya. Duh, aku jadi semakin bingung lagi. Aku tidak mengenalnya, kenapa ada bapaknya juga ? Kalau mau ngelamar juga tidak mungkin. Ya kali sesama cewe ngelamar -_-
Setelah lama berbincang-bincang, dia menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya ke rumah. Ternyata benar dia mau melamarku. Iya, melamar untuk menjadi tim LCC di STEM Akamigas, Cepu.
Nah loh.. jadi semakin bingung kan
Aku latar belakangnya dari SMA, dia dari SMK, dan meminta untuk berkolaborasi dalam Lomba LCC itu. Aku bisa apa coba ?
Usut punya usut, ternyata dia pengen sekali  ikut lomba itu, dia mengajakku berkolaborasi dengan harapan bisa menang, mengingat materinya adalah materi SMA. Dia berharap menang, karena pemenangnya nanti akan mendapatkan sertifikat dan juara 1 akan mendapatkan beasiswa sekolah di sana tanpa tes. Maklum, STEM Akamigas merupakan sekolah tinggi swasta yang menjajikan pekerjaan kelak dan biayanya sangat mahal, 27 juta per semester. Wow...
Aku perlu waktu agak lama untuk memutuskan. Akan tetapi, mengingat ketulusannya, keberaniannya, apalagi ada bapak disampingnya, aku berat hati untuk menolak. Kasihan juga kan, jauh-jauh dari Jiken pulang dengan kekecewaan. Lagipula kata ibu, tidak ada salahnya mencoba. Hargai Mbak Dewi yang meminta dengan tulus. Akhirnya aku mengiyakan permintaannya untuk bergabung dalam timnya.  Kesan pertama kali bertemu, Dewi sosok yang menyenangkan, sederhana, ambisius, dan ternyata banyak memiliki kesamaan denganku. Mungkin itu yang membuat aku merasa nyaman saat pertama kali bertemu.
Seminggu kemudian, H-2 lomba, dia menjemputku dan bermalam di kosnya. Sengaja berangkat dua hari sebelum lomba dilaksanakan karena dia mau mengenalku lebih dekat, belajar bersama, juga karena dia tidak mau aku kelelahan. Dari situ aku semakin nyaman, semakin dekat, semakin akrab.
Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Mulai dari membayar biaya registrasi, menanggung biaya makan, dan sangat ramah. Temannya juga, namanya Munif, teman satu tim, yang baru aku ketahui sebagai pacar Dewi setelah beberapa bulan kemudian.  Bodohnya aku baru menyadari semuanya. Duh...
Aku tidak akan menceritakan bagaimana saat hari H lomba, yang pasti kita bukan juaranya. Hehe :-D
Akhirnya, kita kembali ke kosnya, beres-beres, persiapan pulang. Sebelum pulang, menyempatkan untuk berfoto. Ini adalah foto perdana kita. Dari sini lah awal kita merajut tali persahabatan.

Semenjak itu, hubungan kita semakin dekat. Dia masih sering bahkan memang sering main ke rumah, berkomunikasi lewat medsos, dan bisa dibilang dia adalah satu-satunya orang yang aku anggap sebagai sahabat sekaligus saudara, kakakku. Mulai dari cerita manis, pahit, hambar, penting, tidak penting, bahkan yang sangat tidak pentingpun akan menjadi penting jika sudah bercerita padanya. Kesamaan visi dan misi, karakteristik, kesepahaman, membuat kita sering bertukar pendapat. Aku merasa dia yang paling mengerti apa yang aku mau, yang aku rasakan. Benar-benar bahagia mengenalmu, memilikimu, sahabatku.
September 2014,
Kita dipisahkan oleh jarak, Blora-Semarang. Hubungan kita masih baik-baik saja. Justru semakin menambah referensi bahan cerita, tentang dunia perkuliahan. Dia ingin masuk Undip, sama seperti aku. Tapi Tuhan berkata lain. Dia kuliah di Bojonegoro, perminyakan. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kuliah, dan mecoba mendaftar di Undip tahun berikutnya. Dasar keras kepala...
Dewi sosok yang manis, apalagi dengan gigi gingsulnya itu. Keras kepalanya itu tidak mampu mengubah image bahwa dia tipe orang yang tulus, rendah hati, ramah, setia. Pokoknya bagi aku dia the best.
Waktu terus berjalan, tiba waktunya pendaftaran ajaran baru. Dewi dengan yakin mendaftarkan dirinya saat SBMPTN, waktu itu di Unnes. Namun keberuntungan belum berpihak padanya. Aku hanya bisa membantu memberikan doa dan semangat yang tiada henti. Kemudian dia bertekad di UM Undip, masih belum lolos juga. Sabar ya sayang..
Dia sempat pesimis, tapi hanya sebentar. Terpuruk boleh lah ya, tapi setelah itu harus bangkit lagi. Terakhir kali dia menyinggung soal kampus swasta di Semarang. Hanya sebatas tahu dia ingin, selebihnya tidak tahu.
Kita lebih jarang berkomunikasi, cukup sekali dua kali tanya tentang kabar, terus sudah, tidak ada kelanjutannya lagi
Kenapa di atas aku menyebutkan “Mutiara tanpa Kilau (Lagi)”, karena sekarang aku merasa kehilangan kamu Demut, kamu yang tidak pernah memberi kabar, tidak pernah muncul di media sosial.
Tulisan ini tidak bagus, bahkan tidak jelas.
Tapi aku berharap, sangat, ketika aku mempublikasikan tulisan ini, kamu membacanya.
Kamu harus tahu, betapa aku menyayangimu, mencintaimu, dan merindukanmu, sahabatku, kakakku, keluargaku.
Demut, Dewi Mutiara Putri, kembalilah ({}) 
Tunjukkan kilaumu... Lagi 

 Your Beloved Sister, DM^^

Senin, 26 Oktober 2015

D6

Lebih Sering Mana , Bersyukur atau Mengeluh ?

Dear Sahabat... :-)
Sudah bersyukurkah hari ini ?
Sudahkah mengucap Alhamdulillah karena terlahir sebagai wanita ?
Sahabat.. Betapa indahnya terlahir menjadi wanita
Ketika dia menjadi seorang anak, maka dia telah membukakan pintu surga bagi ayahnya
Ketika dia menjadi seorang istri, dia telah melengkapi separuh agama dari suaminya
Dan...
Ketika dia menjadi seorang ibu, maka surga ada di bawah telapak kakinya
Masyaa Allah
Kita, muslimah, sangat dimuliakan oleh Allah SWT. Diberikan banyak keistimewaan dan kenikmatan. Nikmat sehat, bahagia, waktu luang, ilmu, sekolah, pekerjaan, pakaian, udara, air,  dan masih banyak nikmat-nikmat yang lain. Semua itu terangkum dalam nikmat Iman dan Islam.
Firman Allah “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS 2:152)
Sudah jelas bukan ? Bahwa kita, umat muslim, diwajibkan oleh Allah untuk selalu mengingatnya, bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Cobaan pun sebenarnya termasuk nikmat. Bagaimana tidak ? Allah mendatangkan kepada kita ujian, cobaan, musibah, masalah, bahkan kehilangan, tidak tanpa tujuan. Begitu sayangnya Allah kepada makhlukNya, hingga Ia menegur, mengingatkan, memberi pertanda agar kita kembali kepada-Nya. Allah merindukan sujud syukur dari hamba-hambaNya yang sudah terlena akan euforia dunia. Jadi bersyukurlah, Allah masih (sangat) menyayangimu. Buang semua sikap ber-suudzon kepada-Nya, tanamkan selalu sikap ber-husnudzon, agar Allah mendatangkan kebaikan disetiap jalan hidup yang kita lalui. Sekalipun itu pahit, percaya lah bahwa Allah akan mengganti yang lebih baik, yang lebih pantas.
Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah (QS Ali Imran : 154)
Berawal dari Dia dan dikembalikan lagi pada-Nya
Coba dipikir lagi !!!
Lebih sering mana ? Allah memberimu nikmat atau cobaan ?
Dan kamu lebih sering mana ? bersyukur atau mengeluh ?

Yuk mulai belajar lebih peka atas nikmat Allah^^

Minggu, 25 Oktober 2015

D5

Bismillah Istiqomah J

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, bahkan mereka yang mempunyai jabatan tertinggi sekalipun. Kesempurnaan hanya milik-Nya, akan tetapi kita sebagai makhluk diwajibkan untuk berusaha menjadi lebih baik. Seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa kita dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Menjadi lebih baik bukan berarti harus sempurna. Yang bisa menilai perbuatan kita hanya Allah SWT. Penting untuk meluruskan niat, melakukan kebenaran, dan istiqomah dalam keberjalanannya. Memulai sesuatu itu mudah, tapi konsistensi untuk melakukannya itu yang susah.
Seperti halnya dengan berhijrah. Mengumpulkan niat hingga memutuskan untuk berhijrah, berat. Butuh keyakinan yang kuat untuk memulai dan memikirkan apa yang akan terjadi setelah kita berhijrah. Tak luput juga bagaimana pandangan orang tentang kita. Positif kah ? Negatif kah ? atau biasa-biasa aja, siapa peduli. Hidup kita hanya untuk Allah, tidak perlu memusingkan apa yang mereka katakan. Cukup ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Haha... kalau cuma di bibir mudah ya, bagaimana realitanya ?
Kembali ke pribadi masing-masing, bagaimana niatnya, komitmennya, dan perjuangannya. Hijrah ke jalan yang seharusnya, sesuai yang diperintahkan olehNya. Sulit ? Tidak juga. Akan menjadi sulit jika kamu berpikiran bahwa itu sulit, dan akan mudah jika kita berpikiran bahwa itu mudah. Positif thinking. Laa Tahzan, Innallaha ma’ana (Jangan sedih, Allah bersama kita).
Positif thinking adalah saat kamu berjalan dan menengadah ke atas, tiba-tiba seekor burung menjatuhkan kotorannya ke muka mu. Kamu tidak marah dan tidak menangis, justru kamu bersyukur karena kerbau tidak bisa terbang seperti burung J
Ketika hasrat ibadah terasa lemah, ketika taat terasa berat, ketika syahwat makin menguat, dan ketika hati terkubur dalam futur, maka jawaban apa yang kamu berikan jika ditanya :
“Relakah kamu mati dalam keadaan seperti itu ?”
Jika tidak, maka bangkitlah ! Tidak ada jaminan berumur panjang, tidak ada jaminan kita mati tua. Sesungguhnya tidak ada peluang ketaatan tatkala keematian datang. Lalu, akankah kalian hanya akan diam ? Menutup mata dan telinga, berpura-pura tidak tahu ? atau sudah tahu tapi tidak mau memulai berhijrah ?
Wahai sahabat muslimah, luruskan pakaianmu. Apa yang kita pakai, membawa bersama meruah Islam. Bukan hanya mau dilihat baik dengan penampilan, tetapi biarlah dunia melihat Islam yang tinggi dan indah nilainya. Jadilah muslimah yang meninggikan Islam, bukan menjatuhkan. Jadikan pakaianmu itu menjagamu dari fitnah dan nafsu mata. Jadilah lebih berharga dengan rasa malu. Luruskan niat hanya untuk Allah. Jangan sesekali mendamba pujian dan hanya menunjuk. Tuntut ilmu, jaga akhlak, agar tidak lari dari fungsi ‘apa yang dipakai’

“Ya Allah.. yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadaMu (HR Muslim)”

Sabtu, 24 Oktober 2015

D4

Jazakallahukhoirankatsir Bapak J

Aku tidak begitu pandai dalam merangkai kata, yang membuahkan kalimat yang begitu indahnya, dan mempunyai makna dalam. Tapi di sini aku hanya ingin bercerita, tentang semua yang aku rasakan, semua yang aku dapatkan, 19 tahun bersama Pak Jan, bapakku tercinta.
Dulu aku tidak pernah membayangkan hidupku sesempurna ini. Memliki bapak dan ibu yang yang begitu menyayangiku. Aku sempat bahkan sering berpikir, bahwa aku adalah anak buangan. Terlalu sadis memang jika menyebut “buangan”. Bagaimana tidak, aku terlahir sebagai anak yang tidak diinginkan. Maksud tidak dinginkan di sini bukan aku ada karena hubungan terlarang. Aku lahir dari pasangan yang sah secara agama maupun pemerintah. Orangtuaku sangat berharap melahirkan anak laki-laki. Sebelumnya, ibuku pernah mengandung bayi perempuan, yang tidak lain aadalah kakakku. Namun, Tuhan berkehendak lain. Kakakku meninggal saat baru lahir, akibat keterlambatan penanganan persalinan. Dua tahun kemudian, aku tertanam di rahim ibu.
Menurut cerita dari ibu, bapak sangat menginginkan anak laki-laki. Mengingat anak perempuan pertamanya meninggal, tidak mau kejadian itu terulang kembali. Ibuku hanya bisa pasrah. Setiap malam berdoa, sholat, memohon kepada Allah agar anak yang dikandungnya, aku, lahir dengan selamat. Ibuku menyadari kelemahan dari fisiknya. Beliau sering sakit semenjak hamil yang pertama. Apapun jenis kelamin anaknya nanti, ibuku berharap anaknya bisa selamat, hidup bertahun-tahun lamanya, bermanfaat bagi orang lain, dan yang pasti menjadi orang yang lebih kuat dan lebih baik dari mereka.
Kata ibu juga, bapaku memang tipe orang yang keras kepala. Mungkin masih terbawa kebiasaan masa mudanya. Tapi dibalik itu, bapakku sangat bertanggungjawab dan menyayangi keluarga. Ketika usia ku 7 bulan dalam kandungan ibu, aku keluar begitu saja. Iya, aku lahir prematur. Saat itu ibuku harus dioperasi sesar mengingat kondisi ibu yang lemah. Aku merasa sangat bersyukur, aku dilahirkan ibu ke dunia ini. Berkantong-kantong darah masuk ke tubuh ibu demi kelancaran kelahiranku. Ibuku sangat menderita luar biasanya. Tapi Allah menyelamatkan kami. Aku dan ibuku sehat.
Itu sekilas tentang bagaimana aku dilahirkan oleh perempuan hebat yang dianggil ibu. Aku kembali  bercerita tentang bapak. Kelahiranku ternyata membuat banyak yang harus dikorbankan. Nyawa ibu sudah pasti, namun di sini yang diceritakan adalah ekonomi. Keluarga besar dari bapak memang tergolong orang berada, sedangkan keluarga dari ibu serba pas-pasan. Karena sudah menikah, bapak diwarisi rumah dan tanah oleh simbah, ibuku yang dari keluarga pas-pasan hanya diwarisi beberapa perabot rumah tangga. Selain itu tidak ada lagi. Biaya operasiku dari hasil pinjam-pinjam. Hingga akhirnya aku dibawa pulang ke rumah warisan simbah. Rumah kecil dari kayu yang sudah usang, belum ada kamar saat itu, hanya disekat menggunakan layar yang biasa digunakan untuk menjemur padi atau jagung. Tidak ada yang mempermasalahkan soal itu.
Ketika aku berusia 4 bulan, bapak memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Meninggalkan aku da ibu sendiri di rumah yang belum bisa dikatakan layak huni. Tapi semua itu dilakukan bapak untuk membayar hutang-hutang operasi  kelahiranku. Semenjak itu aku hanya dekat dengan ibu, merasa jauh, sangat jauh dari bapak. Setelah itu aku tidak tahu ceritanya lagi hingga usiaku menginjak 5 tahun.
Aku mulai masuk TK, belum ada Paud waktu itu. Mungkin sudah terbiasa mandiri sejak lahir, aku tidak pernah diantar ke sekolah seperti anak-anak lain yang selalu diantar dan dtunggui oleh orangtuanya sampai pulang. Aku hanya diantar ibu saat mendaftar, setelah pendaftaran pun langsung pulang. Bapak sudah tidak lagi merantau. Di rumah kami jarang bertemu, bukan karena bapak orang sibuk, dalam artian mempunyai pekerjaan yang jabatannya tinggi. Bukan, bapakku seorang tukang bangunan. Setiap subuh bapak harus berangkat kerja ke kota kurang lebih 10 km dari rumah  dan menempuhnya dengan sepeda butut. Bapak berangkat ketika aku belum bangun dan pulang ketika aku sudah tidur. Hal seperti itu aku rasakan bertahun-tahun. Bapakku hebat bukan ?
Seiring bertambahnya usia, aku mulai paham. Bapakku melakukan itu demi aku, ibu, keluarga. Tapi suatu ketika aku mencapai titik jenuh, aku berpikir bahwa aku tidak pernah disayang bapak. Bahkan sempat merasa tidak mempunyai bapak. Bagaimana tidak, kita serumah tapi jarang bertemu, jarang berkomunikasi, dan yang paling membuat aku merasa sangat tidak punya bapak adalah ketika momen pengambilan raport. Bapak tidak pernah bisa mengambil raportku di sekolah, padahal dari SD-SMA aku selalu juara kelas. Setiap kali pengambilan raport, SD, meminta orang lain untuk mengambilkannya, terlebih saat semester ganjil. Jika semester genap, sesekali ibu mau mengambilkan. Aku ingin protes. Aku selalu belajar rajin agar mendapatkan juara kelas, agar bapak tidak malu saat mengambil raportku. bahkan saat UN SD pun aku masih mendapat nilai tertinggi, kemudian masuk 10 besar SMP terbaik di kecamatan.  Sempat berpikir, aku anak siapa? Kenapa bapak tidak pernah ada untuk aku? Ini bukan seperti sinetron yang biasa aku tonton pada TV tetangga waktu itu. Fakta. Realita.
Memasuki SMP, semua masih sama. Aku mencoba meniru bapak. Menjadi sosok yang cuek, keras kepala, kuat, dan bertanggungjawab. Karena dari kecil terbiasa tanpa perhatian, hidupku sedikit lebih berantakan dari teman-teman yang lain. Jadi seenaknya sendiri, cuek terhadap penampilan, ceplas-ceplos, tapi karena ada darah ibu juga, kadang-kadang bersikap baik juga. Setiap hari aku ke sekolah mengayuh sepeda, sama seperti bapak dulu. Tidak pernah sekalipun aku diantar. Bahkan ketika sepedaku bermasalah, bapak menyuruh orang lain untuk mengantar atau justru malah dicarikan tebengan dipinggir jalan. Hingga akhirnya, mukjizat itu ada. Mungkin terlalu berlebihan jika aku menyebutkannya sebagai mukjizat, tapi ini luar biasa. Baru pertama kali aku merasakannya seumur hidupku.
Saat itu aku sedang duduk manis memandang hujan. Aku termenung, entah sedang memikirkan apa waktu itu. Tiba-tiba ide konyol muncul seketika di otakku. Aku ingin sakit. Tidak masuk akal memang, maklum saja, aku memang selalu bertindak konyol dan aneh-aneh. Langsung aku lari ke pintu samping rumah, mengambil kursi kecil, lalu duduk didepan pintu. Aku majukan sedikit kursinya, lalu merasakan tubuhku diguyur hujan. Sengaja aku lakukan itu satu jam lamanya, berharap aku akan sakit. Aku ulangi setiap kali hujan turun. Entah di rumah maupun di jalan. Aku membiarkan tubuhku basah, dingin, hingga memucat akibat guyuran hujan. Tidak peduli apa kata orang.
Akhirnya sampai dipenghujung penantian. Aku sakit, benar-benar sakit. Demam tinggi, magh, Typus, hingga berujung pada mata minus. Saat itu pertama kalinya aku berani memegang bapak, karena tubuhku lemas sekali, tidak terlalu kuat untuk perjalanan ke dokter, aku menyandarkan kepala ke punggungnya. Sesekali memeluk kecil. Aku tersenyum. Satu minggu berlalu, demamku tak kunjung reda. Padahal setia hari sudah minum air rebusan cacing, konon bisa membantu menyembuhkan sakit typus, karena aku tidak bisa minum obat. Tubuhku semakin kurus. Aku absen dari sekolah. Aku lelah, ternyata sakit itu tidak enak. Aku berharapnya bukan sakit yang seperti itu. Maafkan aku Tuhan.
Di hari ke 8, aku hanya memejamkan mata seharian. Tidak tidur, aku tidak kuat merasakan tubuhku yang begitu panasnya. Ibuku tidak nafsu makan, bapak cuti kerja. Siangnya, sekitar jam 2, bapak datang, sepertinya usai membeli sesuatu. Setelah meletakkan belanjaannya, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahku. Sengaja aku tidak membuka mata. Lama tidak ada reaksi, tidak ada suara, hening, senyap. Tiba-tiba kurasakan ada permukaan kasar menempel di keningku. Lama sekali. Kemudian pindah ke leher, perut, dan terakhir kaki. Kemudian kembali lagi ke kening, ada usapan-usapan kecil di rambutku. Aku yakin, permukaan kasar itu adalah telapak tangan bapak. Aku tetap memejamkan mata, hingga akhirnya beliau pergi. Perlahan aku mulai membuka mata, air mata bercucuran keluar, isak tangis yang tidak bisa ditahan lagi. Aku bahagia. Sentuhan itu mesra sekali. Ya Tuhan, terimakasih, aku merindukan sentuhan itu. Sangat merindukannya.
Aku merasa itu adalah sentuhan ajaib. Setelah bapak menyentuhku seperti itu, demamku mulai turun, perlahan-lahan menjadi normal. Dan entah kenapa semenjak kejadian itu bapak menjadi sangat perhatian. Selalu mengantar aku kemana-mana, menjemput kembali, menunggui ketika aku belanja, mengerjakan tugas di warnet, bahkan hampir setiap aku pergi, selalu ada bapak yang mengantar. Sampai saat ini.
Hingga aku kuliah di salah satu fakultas kesehatan di sebuah universitas ternama di Jawa Tengah, orang yang selalu ada dibelakangku adalah bapak. Yang tidak pernah merelekanku untuk naik bus sendirian, yang selalu siap mengantarku dari Blora ke Semarang dengan motor bututnya, yang selalu menanyakan kabar keadaan, kesehatan, kuliah, bahkan keuangan, meskipun hanya via sms atau telfon. Iya, bapakku selalu menanyakan itu, selalu telfon walau hanya 1 menit, mengingatkanku untuk makan. Meskipun tidak pernah menyakan kapan aku pulang, tapi aku yakin mereka selalu mendoakan, mereka selalu mengharapkan aku pulang.
Terimakasih bapak, Jazakallahukhoirankatsir J




Jumat, 23 Oktober 2015

D3

Cahaya Cinta Sang Pencipta

Allahu Akbar, Allah Maha Besar.
Kalimat takbir selalu berkumandang, menggetarkan, menguatkan, menyejukkan, dan menyadarkan kita, umat muslim, bahwa sumber dari segala sumber di dunia bahkan di akhirat nanti adalah Allah SWT. Mulai dari nyawa, napas, detak jantung, denyut nadi, aliran darah, seluruh aktivitas yang dilakukan tubuh kita merupakan kehendak-Nya. Semua itu adalah nikmat yang tiada bandingannya, nikmat yang diberikan Sang Khaliq pada makhluk-Nya, nikmat iman dan Islam. Tidak pernah Allah menuntut makhluk-Nya untuk membayar semua nikmat yang telah dianugerahkan, kecuali dengan bertaqwa kepada-Nya.
Aku terlahir dalam Islam. Bapak dan ibukku seorang muslim. Sejak kecil aku selalu diajarkan sebagaimana yang diwajibkan dan disunahkan dalam Islam. Apapun yang kita lakukan harus didasari dengan niat, niat yang semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Orang tuaku bukan pemuka agama. Mereka hanya buruh tani biasa, yang kebetulan dulu pernah mengenyam pendidikan yang secara khusus mempelajari agama Islam. Tidak heran jika aku juga dituntut untuk mengikuti jejak mereka atau bahkan bisa dibilang melanjutkan perjuangan mereka yang hanya sebatas mempelajari. Orangtuaku sangat berharap, ketika aku dilahirkan ke dunia, suatu saat nanti menjadi Hafidz Qur’an maupun Qori’ah. Aku masih ingat ketika mereka menceritakan keinginannya itu sewaktu aku masih TK. Tapi waktu itu aku hanya sebatas mendengar, tidak mengerti maksudnya apa. Aku juga masih ingat betapa menjengkelkannya aku dimata mereka, hingga aku selalu dipukuli dengan pegangan sapu lidi karena tidak pernah nurut dengan perintah mereka.
Malu sekali kalau mengingat-ingat masa kecilku. Dari TK, SD, SMP, aku masih menjadi anak badung yang hidupnya selalu berantakan, jauh dari aturan, selalu seenaknya sendiri. Hingga akhirnya hidayah itu datang, tepat ketika aku memasuki jenjang menengah atas (SMA). Aku yang semula tidak pernah bergaya seperti wanita, sangat tomboy waktu itu, tidak pernah memakai rok, rambut selalu dicepol seperti orang mau mandi di kali, gelang karet hitam menjadi aksesoris wajib, seperti preman lah pokonya, pada akhirnya aku mulai berhijab.
“Nduk, kamu mau melanjutkan sekolah ke mana?” tanya ibu
“STM Pak, Multimedia.”jawabku mantap
“Mau jadi apa kamu sekolah di STM? Masih mending SMEA to ?”tanya bapak
STM di daerahku adalah sebutan untuk memudahkan orang menyebut SMKN 1 Blora, sedangkan SMEA sebutan untuk SMKN 2 Blora. Sama-sama sekolah kejuruan, hanya konsentrasi ilmu dan peminatnnya  yang berbeda.
“Pokoknya aku mau melanjutkan ke STM Multimedia.”bantahku
“Ya sudah lah, terserah kamu. Tapi dari bapak dan ibu tidak mau ikut campur. Silahkan urusi persyaratannya sendiri, daftar sendiri, jangan minta uang ke bapak atau ibuk.”ancamnya
Awalnya aku protes dengan pernyataan seperti itu. Tapi karena aku ngotot dan sudah terlanjur pengennya di situ, ya sudah, aku menyanggupinya. Dengan modal nekat, aku berangkat bersama temanku, naik sepeda motor yang jaraknya sekitar 15 km dari tempat tinggalku. Untungnya biaya pendaftaran dibantu oleh salah satu guru SMP ku, sekarang beliau sudah menjadi kepala sekolah di SMP lain. Baru pertama kalinya ke kota sama teman naik sepeda motor untuk mendaftar, sudah terkena razia polisi. Jelaslah kena tilang, kita masih di bawah umur. Itu sudah pertanda buruk, tapi aku tetap melanjutkan perjalanan. Serangkainan tes mulai dari tes administrasi, tes psikologi, tes kesehatan, lolos, sedangkan temanku tidak lolos. Tinggal menunggu pengumuman. Orangtuaku masih tetap tidak peduli. Pada saat hari H pengumuman, aku tidak bisa berangkat karena tidak ada yang mengantar. Hingga akhirnya ada yang mengirim pesan bahwa aku diterima. Senang, terharu, sedih, campur aduk. Aku mengadu ke bapak.
“Pak, Fira lolos seleksi. Sekarang ada daftar ulang. Bapak mau nganterin Fira ?”pintaku
“Lepaskan. Daftar di SMA N 1 Jepon saja.”perintahnya
Hatiku hancur, luluh lantah seketika. Bagaimana tidak, sekolah yang aku impikan harus aku lepaskan begitu saja setelah menempuh perjuangan panjang. Dan aku disuruh melanjutkan ke sekolah yang pertama aku blacklist dari daftar keinginan. Aku sangat marah, kecewa, mengurung diri di kamar.  Ibuku selalu membujuk untuk menerima kenyataan bahwa tujuan mereka menyuruhku ke SMA itu baik. Mereka ingin mengembalikan sisi keperempuanku yang sempat menghilang. Sebenarnya alasan kenapa aku memilih STM ya salah satunya biar tidak memakai rok. Selain itu juga menantang, mengingat mayoritas yang sekolah di situ adalah laki-laki. Lambat laun, aku pasrah, aku menyerah. Aku memutuskan untuk menuruti apa yang diminta ibu dan bapak. Kudaftarkan diri saat hari terakhir pendaftaran. Tidak buruk sebenarnya, masih masuk 10 besar di awal. Tapi ada satu hal yang membuatku kembali marah. Ternyata ibu memilihkan seragam berhijab.
“Fir, tadi waktu rapat pleno, ibu milih seragam panjang buat kamu, tidak apa-apa kan?”tanya ibu
“Apa???? Kok ibu tidak tanya dulu sebelumnya ? Fira sudah mau ya pakai rok, kenapa sekarang disuruh panjang juga ? Fira tidak mau Bu, tidak mau.”berontakku
“Kamu nurut saja sama Ibu, tidak ada yang menjerumuskanmu, semua ini demi kebaikan kamu juga.”jelas ibu
“Baiklah”jawabku terpaksa
Semenjak itu aku jadi pendiam, bukan karena aku sudah sadar akan kesalahan-kesalahanku tapi aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sangat tidak pantas jika aku yang sudah berhijab, bersikap urakan seperti biasanya. Lebih baik aku diam. Awal-awal aku berhijab, sulit sekali menahan emosi dan nafsu untuk semaunya sendiri. Temanku juga selalu mengingatkan bagaimana kondisi sekarang, tidak bisa seperti dulu lagi, harus menyesuaikan. Berat memang, sangat berat. Tapi seiring berjalannya waktu aku mulai paham maksud dan tujuan orangtuaku memilih sekolah di sini dan mengenakan seragam berhijab. Ketika rasa nyaman itu sudah datang, serasa menemukan jiwaku yang baru. Aku punya banyak teman, aktif organisasi, juara kelas, dan yang paling mendasar adalah perubahan sikap setelah memakai hijab.
Alhamdulillah, Allah masih sayang kepadaku. Begitu banyak jalan yang harus aku tempuh, dan itu tidak mulus. Tapi Allah memberikan ganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Selama ada niat dan usaha nyata untuk mau berubah, mau berhijrah, ke jalan yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Aku merasakan hidayah itu ada, hidayah itu nyata, hidayah akan diberikan kepada mereka yang mau sedikit lebih membuka hati untuk mengikhlaskan, merelakan, menerima kenyataan, dan berpikir bahwa tidak ada rencana seindah rencana Allah. Semua yang ditetapkan-Nya adalah yang terbaik. Kini aku paham bagaimana seharusnya menjadi muslim itu. Aku masih perlu banyak belajar memperbaiki diri. Tidak ada yang sulit, selagi masih menyandarkan diri pada-Nya. Jalan Allah selalu lurus, istiqomahlah dalam berdoa dan berusaha. Hingga kamu yakin, betapa menyesalnya dirimu jika sekali saja melanggar aturan yang sudah ditetapkan

Bismillah Lillah #YukHijrah J

Kamis, 22 Oktober 2015

D2

Dia yang Bernama Wisnu

You can’t go to bed without a cup of tea, and maybe that’s reason why You talk in your sleep, and all those conversations are the screets that I keep, thought it makes no senses to me
Hmmm... sepenggal lirik dari lagu kesukaan Little Thing, 1D, ini selalu menjadi pengantar pagiku. Ada aura semangat menyemburat, ditransfer masuk ke telinga lalu tepat menembus kalbu. Tidak tahu kenapa hari ini semagat sekali. Bukan karena sekedar mendengarkan dan menyanyikan lagu itu, tapi ada yang lain. Entahlah..
Memasuki masa orientasi hari ke dua. Masih terasa biasa-biasa saja, sama seperti sebelumnya.  Sempat agak badmood sebenarnya, ingat kejadian kemarin yang serba tidak jelas itu. Tapi sudahlah, lupakan.
Niatnya memang mau melupakan, tapi apa daya kalau sudah di depan mata. Salah tingkah lagi kan. Kebetulan hari ini agendanya full di kelas. Semacam ada FGD (Focus Group Discussion) tentang pendidikan karakter dengan perilaku remaja sekarang. Aku sebagai fasilitator bertugas untuk mengawasi 1 kelas dimana mereka sudah dibagi kelompok. Ketika aku berkeliling, tiba-tiba kaki ini berhenti di satu titik dimana  ada cowok kemarin yang sempat aku marahi.
“Sudah sejauh mana diskusi kalian? Ada kesulitan kah ?”tanyaku sok perhatian
“Masih bingung Kak, maksudnya ini bagaimana?”tanya salah satu anggota
Kemudian aku mencoba menjelaskan kepada mereka sampai akhirnya paham dan menyelesaikan FGD nya.
Lagi-lagi mata ini tertuju pada hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Pandanganku fokus pada sebuah tulisan pada tas kardus yang ternyata  milik cowok kemarin yang aku tegur tali sepatunya.
“Maksud tulisan itu apa ? kamu tahu itu dari mana ?”tanyanku penasaran, menunjuk tulisan pada tas miliknya, Lochjinauwe
“Tidak ada. Masalah ?” lagi-lagi dia menjawab dengan santainya dan kali ini benar-benar tidak sopan, tapi aku penasaran
“Kamu tahu, itu adalah sebutan untuk kelas saya kemarin, kamu tidak boleh memakai nama itu tanpa seizin kami.”jelasku
“Suka-suka saya lah. Nama itu bukan hak milik kalian. Banyak kok koperasi yang mempunyai nama seperti itu. Sah-sah saja kan?”bantahnya dengan menyamakan Lochjinauwe dengan Lohjinawe, nama koperasi di daerah kami.
“Terserahlah”balasku singkat, lalu pergi
Sebenarnya bukan hanya teman-temanku yang merasa heran melihat tingkahku, aku sendiri pun merasa heran. Masalah itu sebenarnya sangat tidak penting untuk dibahas, tapi konyolnya aku malah memperdebatkannya. Tuhan.. aku kenapa ?
Setiap melihat wajah cowok itu bawaannya pengen dekat, tapi tidak jelas, ujung-ujungnya jadi salah tingkah sendiri. Bukan suka, tapi ada yang aneh. Serasa pernah ketemu sebelumnya, kenal sangat dekat, sangat akrab. Tapi faktanya kita belum pernah kenalan bahkan ketemu. Baru kali ini aku merasakan hal aneh seperti ini. Tidak biasanya aku jadi salah fokus hanya karena seseorang, cowok lagi.
Iseng-iseng, aku mendekati Sugeng, tetanggaku yang kebetulan satu kelas dengannya.
“Eh ada Sugeng, boleh tanya sesuatu tidak?”basa-basiku
“Boleh, tanya apa Mbak?”balasnya
“Kamu tahu anak yang kemarin debat sama aku gara-gara tulisan di tas kardusnya?”tanyaku
“Iya, tahu, kenapa?”dia balik tanya
“Namanya siapa?”spontanitas
“Hayooo kenapa? Naksir ya ? tenang saja nanti aku titipin salam deh.”godanya
“Ih... apaan sih kamu, enggak kok cuma tanya aja, dia nyebelin banget orangnya.”jelasku
“Hehe... namanya Wisnu.”jawabnya
“Oh.. terimakasih ya.”jawabku singkat, lalu pergi
“.......??”(Sugeng bengong, bingung)
Sepanjang jalan menuju perpustakaan, tiba-tiba aku memikirkannya lagi. Perasaan ini campur aduk. Aku semakin bingung. Aku mencoba melupakannya dengan mengambil buku pelajaran lalu membacanya. Tapi tetap saja tidak bisa.

“Jadi, orang super duper nyebelin dan sudah mencampur adukkan perasaanku itu namanya Wisnu, Wisnu Dwi Wahyu Aji.”

Rabu, 21 Oktober 2015

D1

Pertemuan Pertama, karena Tali Sepatu

Wanita cantik itu melambaikan tangan ke arahku. Tanpa ragu, dia tersenyum lebar. Anggun, sangat anggun. Aku tertegun lama, merasa tidak mengenali wanita ini sebelumnya. Dia mendekat, semakin dekat. Tanpa sepatah kata pun, tubuhnya mendekap, erat. Hatiku menolak, tapi tubuhku tidak bergerak. Aku kenapa ? Dia siapa ? Kenapa dia memelukku sangat erat ? Kenapa tubuhku tidak bisa berontak ? Oh Tuhan..Lindungi aku..
Beberapa menit aku dibuat membisu olehnya. Seperti dihipnotis, tidak bisa bicara, bergerak, apalagi berontak. Dia melepaskan pelukannya, lalu berjalan mundur. Senyum lebar tetap tersungging di bibirnya, tangannya melambai seolah mengatakan selamat tinggal. Dia menghilang...
Kriiiing... Kriiiing...Kriiiing....(bunyi alarm)
“Oh, hanya mimpi. Syukurlah, tapi apa maksudnya mimpi  itu ? Dia siapa ?” aku bertanya-tanya.
Ku rapikan tempat tidur, lalu bergegas ke kamar mandi. Ada agenda penerimaan siswa baru, kebetulan jadi panitianya, jadi harus berangkat lebih awal.
***
“Firaaaaaaa.......”teriak Lisa, sahabatku.
“Kamu kenapa Lis? Teriak-teriak segala.”tanyaku
“Enggak kok, Cuma mau bareng aja.”jawabnya sambil nyengir khas gaya Lisa.
“Dasar ya kamu ini, kirain ada apa. Gimana, udah siap belum ketemu adek-adek emesh ?”tanyaku lagi.
“Paling juga gitu-gitu aja. Gak ada persiapan khususnya. Kecuali kalau ada yang ganteng, *eehh” jawabnya sambil tertawa.
“Tu kan jadi salah fokus kamunya. Yasudah, yuk siap-siap”ku gandeng tangannya, lalu jalan.
Selintas memang tidak ada yang menarik dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru  ini. Yang ada hanya tentang kedisiplinan, ketaatan, kehormatan, dan yang paling menonjol adalah hubungan antara senior dan junior yang masih sangat jauh. Semua masih bersifat tegang dan kaku. Dulu aku juga mengalami hal seperti ini, tapi sekarang naik “status” sedikit jadi panitia.
Hari pertama banyak kejadian serba menjengkelkan. Bagaimana tidak, di hari pertama banyak yang terlambat, tidak mengenakan atribut yang sudah diberitahukan sebelumnya, salah dresscode, ini dan itu. Selama ini aku terkenalnya tidak pernah marah, apalagi ampai membentak orang lain. Entah kenapa pada hari itu mataku tertuju pada satu orang. Cowok. Posturnnya tinggi, berambut ikal, kulit sawo matang, yang ada di barisan siswa bermasalah.
“Dek, itu kenapa tali sepatunya warna biru ? Kan sudah diberitahu sebelumnya kalau sepatu harus hitam beserta talinya?”tanyaku keras. Aku tidak sadar kenapa malah tanya seperti itu, spontanitas.
“Maaf, Mbak”jawabnya santai
“Besok harus diganti dengan yang hitam, kalau tidak nanti saya sita.”perintahku
“Iya” lagi-lagi jawabnya santai dan singkat
Demi apapun ini anak bikin aku naik darah. Tapi ada yang aneh setelah aku balik badan lalu pergi dari tempat tadi. Entah apa itu aku tidak tahu pasti. Hanya aneh, seperti tidak asing lagi wajahnya, seperti kita sudah saling kenal sebelumnya.


Bersambung...