Jazakallahukhoirankatsir Bapak J
Aku
tidak begitu pandai dalam merangkai kata, yang membuahkan kalimat yang begitu
indahnya, dan mempunyai makna dalam. Tapi di sini aku hanya ingin bercerita,
tentang semua yang aku rasakan, semua yang aku dapatkan, 19 tahun bersama Pak
Jan, bapakku tercinta.
Dulu
aku tidak pernah membayangkan hidupku sesempurna ini. Memliki bapak dan ibu
yang yang begitu menyayangiku. Aku sempat bahkan sering berpikir, bahwa aku
adalah anak buangan. Terlalu sadis memang jika menyebut “buangan”. Bagaimana
tidak, aku terlahir sebagai anak yang tidak diinginkan. Maksud tidak dinginkan
di sini bukan aku ada karena hubungan terlarang. Aku lahir dari pasangan yang
sah secara agama maupun pemerintah. Orangtuaku sangat berharap melahirkan anak
laki-laki. Sebelumnya, ibuku pernah mengandung bayi perempuan, yang tidak lain aadalah
kakakku. Namun, Tuhan berkehendak lain. Kakakku meninggal saat baru lahir,
akibat keterlambatan penanganan persalinan. Dua tahun kemudian, aku tertanam di
rahim ibu.
Menurut
cerita dari ibu, bapak sangat menginginkan anak laki-laki. Mengingat anak
perempuan pertamanya meninggal, tidak mau kejadian itu terulang kembali. Ibuku
hanya bisa pasrah. Setiap malam berdoa, sholat, memohon kepada Allah agar anak
yang dikandungnya, aku, lahir dengan selamat. Ibuku menyadari kelemahan dari
fisiknya. Beliau sering sakit semenjak hamil yang pertama. Apapun jenis kelamin
anaknya nanti, ibuku berharap anaknya bisa selamat, hidup bertahun-tahun
lamanya, bermanfaat bagi orang lain, dan yang pasti menjadi orang yang lebih
kuat dan lebih baik dari mereka.
Kata
ibu juga, bapaku memang tipe orang yang keras kepala. Mungkin masih terbawa
kebiasaan masa mudanya. Tapi dibalik itu, bapakku sangat bertanggungjawab dan
menyayangi keluarga. Ketika usia ku 7 bulan dalam kandungan ibu, aku keluar
begitu saja. Iya, aku lahir prematur. Saat itu ibuku harus dioperasi sesar
mengingat kondisi ibu yang lemah. Aku merasa sangat bersyukur, aku dilahirkan
ibu ke dunia ini. Berkantong-kantong darah masuk ke tubuh ibu demi kelancaran
kelahiranku. Ibuku sangat menderita luar biasanya. Tapi Allah menyelamatkan
kami. Aku dan ibuku sehat.
Itu
sekilas tentang bagaimana aku dilahirkan oleh perempuan hebat yang dianggil
ibu. Aku kembali bercerita tentang
bapak. Kelahiranku ternyata membuat banyak yang harus dikorbankan. Nyawa ibu
sudah pasti, namun di sini yang diceritakan adalah ekonomi. Keluarga besar dari
bapak memang tergolong orang berada, sedangkan keluarga dari ibu serba
pas-pasan. Karena sudah menikah, bapak diwarisi rumah dan tanah oleh simbah,
ibuku yang dari keluarga pas-pasan hanya diwarisi beberapa perabot rumah
tangga. Selain itu tidak ada lagi. Biaya operasiku dari hasil pinjam-pinjam.
Hingga akhirnya aku dibawa pulang ke rumah warisan simbah. Rumah kecil dari kayu
yang sudah usang, belum ada kamar saat itu, hanya disekat menggunakan layar
yang biasa digunakan untuk menjemur padi atau jagung. Tidak ada yang
mempermasalahkan soal itu.
Ketika
aku berusia 4 bulan, bapak memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Meninggalkan
aku da ibu sendiri di rumah yang belum bisa dikatakan layak huni. Tapi semua
itu dilakukan bapak untuk membayar hutang-hutang operasi kelahiranku. Semenjak itu aku hanya dekat
dengan ibu, merasa jauh, sangat jauh dari bapak. Setelah itu aku tidak tahu
ceritanya lagi hingga usiaku menginjak 5 tahun.
Aku
mulai masuk TK, belum ada Paud waktu itu. Mungkin sudah terbiasa mandiri sejak
lahir, aku tidak pernah diantar ke sekolah seperti anak-anak lain yang selalu
diantar dan dtunggui oleh orangtuanya sampai pulang. Aku hanya diantar ibu saat
mendaftar, setelah pendaftaran pun langsung pulang. Bapak sudah tidak lagi
merantau. Di rumah kami jarang bertemu, bukan karena bapak orang sibuk, dalam
artian mempunyai pekerjaan yang jabatannya tinggi. Bukan, bapakku seorang
tukang bangunan. Setiap subuh bapak harus berangkat kerja ke kota kurang lebih
10 km dari rumah dan menempuhnya dengan
sepeda butut. Bapak berangkat ketika aku belum bangun dan pulang ketika aku
sudah tidur. Hal seperti itu aku rasakan bertahun-tahun. Bapakku hebat bukan ?
Seiring
bertambahnya usia, aku mulai paham. Bapakku melakukan itu demi aku, ibu,
keluarga. Tapi suatu ketika aku mencapai titik jenuh, aku berpikir bahwa aku
tidak pernah disayang bapak. Bahkan sempat merasa tidak mempunyai bapak.
Bagaimana tidak, kita serumah tapi jarang bertemu, jarang berkomunikasi, dan
yang paling membuat aku merasa sangat tidak punya bapak adalah ketika momen
pengambilan raport. Bapak tidak pernah bisa mengambil raportku di sekolah,
padahal dari SD-SMA aku selalu juara kelas. Setiap kali pengambilan raport, SD,
meminta orang lain untuk mengambilkannya, terlebih saat semester ganjil. Jika
semester genap, sesekali ibu mau mengambilkan. Aku ingin protes. Aku selalu
belajar rajin agar mendapatkan juara kelas, agar bapak tidak malu saat
mengambil raportku. bahkan saat UN SD pun aku masih mendapat nilai tertinggi,
kemudian masuk 10 besar SMP terbaik di kecamatan. Sempat berpikir, aku anak siapa? Kenapa bapak
tidak pernah ada untuk aku? Ini bukan seperti sinetron yang biasa aku tonton
pada TV tetangga waktu itu. Fakta. Realita.
Memasuki
SMP, semua masih sama. Aku mencoba meniru bapak. Menjadi sosok yang cuek, keras
kepala, kuat, dan bertanggungjawab. Karena dari kecil terbiasa tanpa perhatian,
hidupku sedikit lebih berantakan dari teman-teman yang lain. Jadi seenaknya
sendiri, cuek terhadap penampilan, ceplas-ceplos, tapi karena ada darah ibu
juga, kadang-kadang bersikap baik juga. Setiap hari aku ke sekolah mengayuh
sepeda, sama seperti bapak dulu. Tidak pernah sekalipun aku diantar. Bahkan
ketika sepedaku bermasalah, bapak menyuruh orang lain untuk mengantar atau
justru malah dicarikan tebengan dipinggir jalan. Hingga akhirnya, mukjizat itu
ada. Mungkin terlalu berlebihan jika aku menyebutkannya sebagai mukjizat, tapi ini
luar biasa. Baru pertama kali aku merasakannya seumur hidupku.
Saat
itu aku sedang duduk manis memandang hujan. Aku termenung, entah sedang
memikirkan apa waktu itu. Tiba-tiba ide konyol muncul seketika di otakku. Aku
ingin sakit. Tidak masuk akal memang, maklum saja, aku memang selalu bertindak
konyol dan aneh-aneh. Langsung aku lari ke pintu samping rumah, mengambil kursi
kecil, lalu duduk didepan pintu. Aku majukan sedikit kursinya, lalu merasakan
tubuhku diguyur hujan. Sengaja aku lakukan itu satu jam lamanya, berharap aku
akan sakit. Aku ulangi setiap kali hujan turun. Entah di rumah maupun di jalan.
Aku membiarkan tubuhku basah, dingin, hingga memucat akibat guyuran hujan.
Tidak peduli apa kata orang.
Akhirnya
sampai dipenghujung penantian. Aku sakit, benar-benar sakit. Demam tinggi, magh,
Typus, hingga berujung pada mata minus. Saat itu pertama kalinya aku berani
memegang bapak, karena tubuhku lemas sekali, tidak terlalu kuat untuk
perjalanan ke dokter, aku menyandarkan kepala ke punggungnya. Sesekali memeluk
kecil. Aku tersenyum. Satu minggu berlalu, demamku tak kunjung reda. Padahal
setia hari sudah minum air rebusan cacing, konon bisa membantu menyembuhkan
sakit typus, karena aku tidak bisa minum obat. Tubuhku semakin kurus. Aku absen
dari sekolah. Aku lelah, ternyata sakit itu tidak enak. Aku berharapnya bukan
sakit yang seperti itu. Maafkan aku Tuhan.
Di
hari ke 8, aku hanya memejamkan mata seharian. Tidak tidur, aku tidak kuat
merasakan tubuhku yang begitu panasnya. Ibuku tidak nafsu makan, bapak cuti
kerja. Siangnya, sekitar jam 2, bapak datang, sepertinya usai membeli sesuatu.
Setelah meletakkan belanjaannya, terdengar suara langkah kaki mendekat ke
arahku. Sengaja aku tidak membuka mata. Lama tidak ada reaksi, tidak ada suara,
hening, senyap. Tiba-tiba kurasakan ada permukaan kasar menempel di keningku.
Lama sekali. Kemudian pindah ke leher, perut, dan terakhir kaki. Kemudian
kembali lagi ke kening, ada usapan-usapan kecil di rambutku. Aku yakin,
permukaan kasar itu adalah telapak tangan bapak. Aku tetap memejamkan mata,
hingga akhirnya beliau pergi. Perlahan aku mulai membuka mata, air mata
bercucuran keluar, isak tangis yang tidak bisa ditahan lagi. Aku bahagia.
Sentuhan itu mesra sekali. Ya Tuhan, terimakasih, aku merindukan sentuhan itu.
Sangat merindukannya.
Aku
merasa itu adalah sentuhan ajaib. Setelah bapak menyentuhku seperti itu,
demamku mulai turun, perlahan-lahan menjadi normal. Dan entah kenapa semenjak
kejadian itu bapak menjadi sangat perhatian. Selalu mengantar aku kemana-mana,
menjemput kembali, menunggui ketika aku belanja, mengerjakan tugas di warnet,
bahkan hampir setiap aku pergi, selalu ada bapak yang mengantar. Sampai saat
ini.
Hingga
aku kuliah di salah satu fakultas kesehatan di sebuah universitas ternama di
Jawa Tengah, orang yang selalu ada dibelakangku adalah bapak. Yang tidak pernah
merelekanku untuk naik bus sendirian, yang selalu siap mengantarku dari Blora
ke Semarang dengan motor bututnya, yang selalu menanyakan kabar keadaan,
kesehatan, kuliah, bahkan keuangan, meskipun hanya via sms atau telfon. Iya,
bapakku selalu menanyakan itu, selalu telfon walau hanya 1 menit,
mengingatkanku untuk makan. Meskipun tidak pernah menyakan kapan aku pulang,
tapi aku yakin mereka selalu mendoakan, mereka selalu mengharapkan aku pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar