Sabtu, 24 Oktober 2015

D4

Jazakallahukhoirankatsir Bapak J

Aku tidak begitu pandai dalam merangkai kata, yang membuahkan kalimat yang begitu indahnya, dan mempunyai makna dalam. Tapi di sini aku hanya ingin bercerita, tentang semua yang aku rasakan, semua yang aku dapatkan, 19 tahun bersama Pak Jan, bapakku tercinta.
Dulu aku tidak pernah membayangkan hidupku sesempurna ini. Memliki bapak dan ibu yang yang begitu menyayangiku. Aku sempat bahkan sering berpikir, bahwa aku adalah anak buangan. Terlalu sadis memang jika menyebut “buangan”. Bagaimana tidak, aku terlahir sebagai anak yang tidak diinginkan. Maksud tidak dinginkan di sini bukan aku ada karena hubungan terlarang. Aku lahir dari pasangan yang sah secara agama maupun pemerintah. Orangtuaku sangat berharap melahirkan anak laki-laki. Sebelumnya, ibuku pernah mengandung bayi perempuan, yang tidak lain aadalah kakakku. Namun, Tuhan berkehendak lain. Kakakku meninggal saat baru lahir, akibat keterlambatan penanganan persalinan. Dua tahun kemudian, aku tertanam di rahim ibu.
Menurut cerita dari ibu, bapak sangat menginginkan anak laki-laki. Mengingat anak perempuan pertamanya meninggal, tidak mau kejadian itu terulang kembali. Ibuku hanya bisa pasrah. Setiap malam berdoa, sholat, memohon kepada Allah agar anak yang dikandungnya, aku, lahir dengan selamat. Ibuku menyadari kelemahan dari fisiknya. Beliau sering sakit semenjak hamil yang pertama. Apapun jenis kelamin anaknya nanti, ibuku berharap anaknya bisa selamat, hidup bertahun-tahun lamanya, bermanfaat bagi orang lain, dan yang pasti menjadi orang yang lebih kuat dan lebih baik dari mereka.
Kata ibu juga, bapaku memang tipe orang yang keras kepala. Mungkin masih terbawa kebiasaan masa mudanya. Tapi dibalik itu, bapakku sangat bertanggungjawab dan menyayangi keluarga. Ketika usia ku 7 bulan dalam kandungan ibu, aku keluar begitu saja. Iya, aku lahir prematur. Saat itu ibuku harus dioperasi sesar mengingat kondisi ibu yang lemah. Aku merasa sangat bersyukur, aku dilahirkan ibu ke dunia ini. Berkantong-kantong darah masuk ke tubuh ibu demi kelancaran kelahiranku. Ibuku sangat menderita luar biasanya. Tapi Allah menyelamatkan kami. Aku dan ibuku sehat.
Itu sekilas tentang bagaimana aku dilahirkan oleh perempuan hebat yang dianggil ibu. Aku kembali  bercerita tentang bapak. Kelahiranku ternyata membuat banyak yang harus dikorbankan. Nyawa ibu sudah pasti, namun di sini yang diceritakan adalah ekonomi. Keluarga besar dari bapak memang tergolong orang berada, sedangkan keluarga dari ibu serba pas-pasan. Karena sudah menikah, bapak diwarisi rumah dan tanah oleh simbah, ibuku yang dari keluarga pas-pasan hanya diwarisi beberapa perabot rumah tangga. Selain itu tidak ada lagi. Biaya operasiku dari hasil pinjam-pinjam. Hingga akhirnya aku dibawa pulang ke rumah warisan simbah. Rumah kecil dari kayu yang sudah usang, belum ada kamar saat itu, hanya disekat menggunakan layar yang biasa digunakan untuk menjemur padi atau jagung. Tidak ada yang mempermasalahkan soal itu.
Ketika aku berusia 4 bulan, bapak memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Meninggalkan aku da ibu sendiri di rumah yang belum bisa dikatakan layak huni. Tapi semua itu dilakukan bapak untuk membayar hutang-hutang operasi  kelahiranku. Semenjak itu aku hanya dekat dengan ibu, merasa jauh, sangat jauh dari bapak. Setelah itu aku tidak tahu ceritanya lagi hingga usiaku menginjak 5 tahun.
Aku mulai masuk TK, belum ada Paud waktu itu. Mungkin sudah terbiasa mandiri sejak lahir, aku tidak pernah diantar ke sekolah seperti anak-anak lain yang selalu diantar dan dtunggui oleh orangtuanya sampai pulang. Aku hanya diantar ibu saat mendaftar, setelah pendaftaran pun langsung pulang. Bapak sudah tidak lagi merantau. Di rumah kami jarang bertemu, bukan karena bapak orang sibuk, dalam artian mempunyai pekerjaan yang jabatannya tinggi. Bukan, bapakku seorang tukang bangunan. Setiap subuh bapak harus berangkat kerja ke kota kurang lebih 10 km dari rumah  dan menempuhnya dengan sepeda butut. Bapak berangkat ketika aku belum bangun dan pulang ketika aku sudah tidur. Hal seperti itu aku rasakan bertahun-tahun. Bapakku hebat bukan ?
Seiring bertambahnya usia, aku mulai paham. Bapakku melakukan itu demi aku, ibu, keluarga. Tapi suatu ketika aku mencapai titik jenuh, aku berpikir bahwa aku tidak pernah disayang bapak. Bahkan sempat merasa tidak mempunyai bapak. Bagaimana tidak, kita serumah tapi jarang bertemu, jarang berkomunikasi, dan yang paling membuat aku merasa sangat tidak punya bapak adalah ketika momen pengambilan raport. Bapak tidak pernah bisa mengambil raportku di sekolah, padahal dari SD-SMA aku selalu juara kelas. Setiap kali pengambilan raport, SD, meminta orang lain untuk mengambilkannya, terlebih saat semester ganjil. Jika semester genap, sesekali ibu mau mengambilkan. Aku ingin protes. Aku selalu belajar rajin agar mendapatkan juara kelas, agar bapak tidak malu saat mengambil raportku. bahkan saat UN SD pun aku masih mendapat nilai tertinggi, kemudian masuk 10 besar SMP terbaik di kecamatan.  Sempat berpikir, aku anak siapa? Kenapa bapak tidak pernah ada untuk aku? Ini bukan seperti sinetron yang biasa aku tonton pada TV tetangga waktu itu. Fakta. Realita.
Memasuki SMP, semua masih sama. Aku mencoba meniru bapak. Menjadi sosok yang cuek, keras kepala, kuat, dan bertanggungjawab. Karena dari kecil terbiasa tanpa perhatian, hidupku sedikit lebih berantakan dari teman-teman yang lain. Jadi seenaknya sendiri, cuek terhadap penampilan, ceplas-ceplos, tapi karena ada darah ibu juga, kadang-kadang bersikap baik juga. Setiap hari aku ke sekolah mengayuh sepeda, sama seperti bapak dulu. Tidak pernah sekalipun aku diantar. Bahkan ketika sepedaku bermasalah, bapak menyuruh orang lain untuk mengantar atau justru malah dicarikan tebengan dipinggir jalan. Hingga akhirnya, mukjizat itu ada. Mungkin terlalu berlebihan jika aku menyebutkannya sebagai mukjizat, tapi ini luar biasa. Baru pertama kali aku merasakannya seumur hidupku.
Saat itu aku sedang duduk manis memandang hujan. Aku termenung, entah sedang memikirkan apa waktu itu. Tiba-tiba ide konyol muncul seketika di otakku. Aku ingin sakit. Tidak masuk akal memang, maklum saja, aku memang selalu bertindak konyol dan aneh-aneh. Langsung aku lari ke pintu samping rumah, mengambil kursi kecil, lalu duduk didepan pintu. Aku majukan sedikit kursinya, lalu merasakan tubuhku diguyur hujan. Sengaja aku lakukan itu satu jam lamanya, berharap aku akan sakit. Aku ulangi setiap kali hujan turun. Entah di rumah maupun di jalan. Aku membiarkan tubuhku basah, dingin, hingga memucat akibat guyuran hujan. Tidak peduli apa kata orang.
Akhirnya sampai dipenghujung penantian. Aku sakit, benar-benar sakit. Demam tinggi, magh, Typus, hingga berujung pada mata minus. Saat itu pertama kalinya aku berani memegang bapak, karena tubuhku lemas sekali, tidak terlalu kuat untuk perjalanan ke dokter, aku menyandarkan kepala ke punggungnya. Sesekali memeluk kecil. Aku tersenyum. Satu minggu berlalu, demamku tak kunjung reda. Padahal setia hari sudah minum air rebusan cacing, konon bisa membantu menyembuhkan sakit typus, karena aku tidak bisa minum obat. Tubuhku semakin kurus. Aku absen dari sekolah. Aku lelah, ternyata sakit itu tidak enak. Aku berharapnya bukan sakit yang seperti itu. Maafkan aku Tuhan.
Di hari ke 8, aku hanya memejamkan mata seharian. Tidak tidur, aku tidak kuat merasakan tubuhku yang begitu panasnya. Ibuku tidak nafsu makan, bapak cuti kerja. Siangnya, sekitar jam 2, bapak datang, sepertinya usai membeli sesuatu. Setelah meletakkan belanjaannya, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahku. Sengaja aku tidak membuka mata. Lama tidak ada reaksi, tidak ada suara, hening, senyap. Tiba-tiba kurasakan ada permukaan kasar menempel di keningku. Lama sekali. Kemudian pindah ke leher, perut, dan terakhir kaki. Kemudian kembali lagi ke kening, ada usapan-usapan kecil di rambutku. Aku yakin, permukaan kasar itu adalah telapak tangan bapak. Aku tetap memejamkan mata, hingga akhirnya beliau pergi. Perlahan aku mulai membuka mata, air mata bercucuran keluar, isak tangis yang tidak bisa ditahan lagi. Aku bahagia. Sentuhan itu mesra sekali. Ya Tuhan, terimakasih, aku merindukan sentuhan itu. Sangat merindukannya.
Aku merasa itu adalah sentuhan ajaib. Setelah bapak menyentuhku seperti itu, demamku mulai turun, perlahan-lahan menjadi normal. Dan entah kenapa semenjak kejadian itu bapak menjadi sangat perhatian. Selalu mengantar aku kemana-mana, menjemput kembali, menunggui ketika aku belanja, mengerjakan tugas di warnet, bahkan hampir setiap aku pergi, selalu ada bapak yang mengantar. Sampai saat ini.
Hingga aku kuliah di salah satu fakultas kesehatan di sebuah universitas ternama di Jawa Tengah, orang yang selalu ada dibelakangku adalah bapak. Yang tidak pernah merelekanku untuk naik bus sendirian, yang selalu siap mengantarku dari Blora ke Semarang dengan motor bututnya, yang selalu menanyakan kabar keadaan, kesehatan, kuliah, bahkan keuangan, meskipun hanya via sms atau telfon. Iya, bapakku selalu menanyakan itu, selalu telfon walau hanya 1 menit, mengingatkanku untuk makan. Meskipun tidak pernah menyakan kapan aku pulang, tapi aku yakin mereka selalu mendoakan, mereka selalu mengharapkan aku pulang.
Terimakasih bapak, Jazakallahukhoirankatsir J




Tidak ada komentar:

Posting Komentar